Kesempurnaan Islam & Konsekuensinya
Di zaman ini, kita melihat berbagai perkara baru telah ditambahkan ke dalam agama Islam. Baik tambahan itu berupa keyakinan, amalan, prinsip dan kaidah, atau yang lainnya. Hal ini benar-benar merusak kesucian Islam dalam urusan agama. Padahal Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama Islam ini bagi hamba-hamba- Nya, dan ini termasuk nikmat Allâh Ta'âla terbesar. Maka selayaknya orang-orang Islam meridhai agama Islam ini, sebagaimana Allâh Ta'âla telah meridhainya. Demikian juga, seharusnya mereka merasa cukup dengan ajaran agama Islam ini, karena memang Allâh Ta'âla telah menyempurnakan nikmat-Nya.
Dalam rangka mengingatkan kesempurnaan
agama Islam –yang telah kita diketahui bersama– dan mengingatkan
konsekuensinya –yang mungkin banyak dilalaikan oleh sebagian orang–,
ada 2 hal pokok yang perlu kita ketahui bersama:
KONSEKUENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah mengetahui dengan pasti
kesempurnaan agama Islam ini, maka di antara konsekuensinya adalah
bahwa kita tidak boleh menambahkan sesuatu pun yang baru dalam agama
ini, sebagaimana kita juga tidak boleh menguranginya. Inilah yang
dipahami oleh para Ulama semenjak dahulu. Sebagian dari perkataan
mereka di antaranya:
1. |
Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh berkata:
“Barangsiapa
membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam dan dia
memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka, sungguh dia telah
menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas
menyampaikan agama) ini, karena Allâh telah berfirman:
"Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu."
(Qs al-Mâidah/5:3).
Oleh karena
itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan dari agama, pada
hari ini pun juga bukan dari agama”.
|
2. |
Imam asy-Syâthibi rahimahullâh berkata:
“Sesungguhnya
orang yang menganggap baik suatu bid’ah, secara umum memuat
konsekuensi bahwa menurutnya syari’at itu belum sempurna,
sehingga firman Allâh Ta'âla, ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu”, tidak memiliki nilai makna menurut
mereka”.
Maka orang yang demikian adalah orang yang sesat dari jalan yang lurus.
|
3. |
Iman asy-Syaukâni rahimahullâh berkata:
“Jika Allâh Ta'âla
telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya,
maka apakah perlunya pemikiran/pendapat baru, padahal Allâh
Ta'âla telah menyempurnakan agama-Nya. Jika menurut
keyakinan mereka pemikiran baru itu termasuk agama, maka agama
ini menurut mereka belum sempurna; kecuali dengan pemikiran
mereka. Yang berarti bahwa keyakinan mereka ini membantah
al-Qur’ân. Jika itu bukan dari agama, maka apa gunanya
menyibukkan diri dengan perkara yang tidak termasuk agama. Ini
adalah argumen yang sangat kuat dan bukti yang agung. Orang
yang membuat pemikiran baru tidak mungkin membantahnya
dengan bantahan apapun selamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini
(Qs al-Mâidah ayat 3) pertama kali untuk menampar wajah
ahli ra’yi (pengagung akal), menghinakan mereka, dan
menghancurkan hujjah mereka”.[7]
|
4. |
Syaikh Muhammad Sulthân Al-Ma’shûmi rahimahullâh berkata:
“Jalan-jalan agama dan
ibadah-ibadah yang benar hanyalah yang telah dijelaskan oleh
Sang Pencipta makhluk lewat lisan Rasul-Nya, Muhammad
shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka, barangsiapa menambah atau
menguranginya berarti dia telah menyelisihi Allâh Ta'âla yang
Maha Bijaksana, Maha Mencipta dan Maha Mengetahui, sebab dia
meramu obat-obat bagi dirinya sendiri. Padahal, kemungkinan
obat itu malah akan menjadi penyakit, dan ibadahnya
menjadi maksiat tanpa dia sadari. Karena agama ini telah
sempurna, maka barangsiapa menambah ajaran baru dalam agama,
berarti dia menyangka bahwa agama ini kurang (sempurna),
lalu dia menyempurnakannya dengan anggapan baik menurut
akalnya yang rusak dan khayalnya yang tidak laku”.
|
SIKAP SALAF TERHADAP PERKARA BARU DALAM AGAMA
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bahwa ibadah
itu harus mengikuti dalil dari al-Qur’ân atau Sunnah dengan pemahaman
yang benar dari para Salaf. Oleh karena itu para Salafus Shalih
mengingkari cara-cara ibadah yang tidak dituntunkan; atau
perkara-perkara yang ditambahkan di dalam ibadah yang telah
dituntunkan; walaupun manusia menganggapnya sebagai kebaikan. Karena
memang ibadah itu akan diterima dengan dua syarat yaitu ikhlas dan
ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ).
Tentang syarat ikhlas, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh tidak akan menerima dari semua jenis amalan
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.
Tentang syarat ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam), beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini,
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
Sebagian orang ketika melakukan ibadah bid’ah (ibadah baru yang tidak dituntunkan), lalu diingkari, dia segera menjawab: “Apa sih jeleknya berdzikir”, “Apa sih jeleknya berdoa”, “Apa sih jeleknya membaca al-Qur’ân”, dan semacamnya. Padahal yang diingkari itu bukan masalah berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân. Tetapi yang diingkari adalah tata-cara ibadah mereka di dalam berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan membuat tambahan di dalam agama yang sudah sempurna. Sehingga, ibadah mereka tidak memenuhi syarat ittibâ’, walaupun seandainya mereka ikhlas.
Karenanya, disini disampaikan beberapa sikap
Salafus shalih tentang pengingkaran mereka terhadap berbagai tambahan
dalam agama, walaupun mungkin di zaman sekarang orang menganggapnya
sebagai suatu kebaikan. Namun, sebaik-baik generasi adalah para
Sahabat, sehingga pemahaman para Sahabat itulah yang harus dijadikan
rujukan di dalam beragama. Di antara riwayat tersebut adalah:
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita mengetahui
bahwa agama Islam ini telah dinyatakan sempurna oleh Allâh Ta'âla dan
Rasul-Nya. Demikian juga diakui oleh para Sahabat Nabi shallallâhu
'alaihi wasallam dan para Ulama setelah mereka. Maka, segala macam
tambahan dan perkara baru di dalam agama ini adalah tertolak. Karena
setelah jelas al-haq, semua yang bertentangan dengannya adalah
kebatilan. Semoga Allâh Ta'âla selalu menganugerahkan kepada kita
keikhlasan di dalam niat dan kebenaran dengan mengikuti Sunnah. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar