Syarat-Syarat Diterimanya La Ilaha Illallah
Bismillah…
- Mengetahui (Al-’Ilm)
Pengetahuan ini menyangkut beberapa hal,
misalnya makna kata “asyhadu”, pengertian “ilah”, juga pemahaman
tentang nafy wa itsbat (penolakan dan pengukuhan) yang tertuang dalam
huruf la dan ila.
Demikian juga kandungan syahadat, yang
memuat prinsip sangat fundamental, yakni persaksian bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ia harus diikrarkan
dengan pemahaman. Allah SWT berfriman, “Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad : 19)
Pada ayat di atas, Allah telah
mendahulukan perintah untuk memiliki pengetahuan akan sesuatu (maka
ketahuilah) sebelum memerintahkan untuk beramal (mohonlah ampunan bg
dosamu). Setiap orang yang bersyahadat harus mengetahui dengan benar
tentang apa yang diucapkannya. Ketidaktahuan atau kebodohan dalam
memahami kandungan kalimat syahdat menyebabkan ucapan seseorang tak
ubahnya seperti mesin atau burung beo yang pandai mengucapkan kata-kata
tanpa mengetahui maknanya.
Secara umum, dan dalam hal apa saja, pengetahuan memang harus didahulukan atas amalan. Mengapa?
a. Ilmu adalah pembangkit iman dan ketundukan.
Allah SWT berfirman, dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran itulah
yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya… (QS. Al-Hajj : 54)
b. Ilmu menghindarkan kerancuan
Karena tidak berilmu, banyak orang merasa telah berbuat kebajikan, namun sebenarnya perbuatannya termasuk kesesatan. “Katakanlah:
“Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi : 103-104)
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Pekerja yang tanpa ilmu lbh banyak merusak daripada memperbaiki.”
c. Ilmu adalah pemimpin amal
Ilmu berada di barisan depan. Ia mengarahkan, membimbing, dan memberikan koreksi bagi pelakunya.
Imam Hasan Al-Basri berkata, “Pelaku amal yang melakukannya tanpa
ilmu, ibarat orang berjalan tidak pada jalannya. Pekerja tanpa ilmu
lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Oleh karenanya, carilah ilmu
sebanyak-banyaknya, namun jangan sampai berbahaya bagi ibadah dan
carilah ibadah sebanyak-banyaknya, namun jangan sampai berbahaya bagi
ilmu. Ada segolongan kaum yang begitu gigih beribadah, namun
meninggalkan ilmu hingga keluar dari rumahnya membawa pedang untuk
memerangi umat Muhammad SAW. Seandainya saja mereka mencari ilmu,
niscaya ilmu itu tidak mengarahkan pada apa yang mereka perbuat.” (Ibnu
Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’adah)
2. Keyakinan
Setiap orang yang berikrar harus
meyakini kandungan kalimat syahadat dengan keyakinan yang kuat. Dengan
keyakinan seseorang akan terhindar dari keraguan dan dengan keyakinan
pula ia akan melangkah dengan kepastian.
Setiap orang yang mengikrarkan kalimat
ini harus meyakini dengan sepenuh hati, tanpa ada keraguan di dalamnya.
Allah SWT telah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat : 15) Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Mufhim ‘ala Shahih Al-Muslim menjelaskan, “Tidak cukup dengan melafalkan syahadatain, akan tetapi harus dengan keyakinan hati.”
Keyakinan dapat dihasilkan melalui
pendekatan logika. Beberapa kaidah logika akan membantu Anda mengimani
Allah SWT, Dzat Yang gaib.
- a. Ketiadaan tidak bisa menciptakan wujud.
Orang awam tentu heran ketika melihat
daging tiba-tiba ada belatungnya. Adakah ia muncul secara
sekonyong-konyong? Namun dunia ilmu telah menjawabnya, bahwa ia datang
sbg larva lalat. Ketika daging itu busuk, maka lalat pun berdatangan dan
ia bertelur di daging busuk itu. Lahirlah larva lalat itu. Demikianlah,
tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang terjadi secara
sekonyong-konyong, dari ketiadaan.
- b. Berpikir tentang ciptaan dapat mengantarkan kita kepada sifat penciptanya.
Ketika mengamati kursi kayu yang bagus dan kuat, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa pembuat kursi pasti seseorang yang bisa mengukur dengan cermat, memiliki kayu, memiliki alat pengukur, memiliki alat potong, sekaligus memiliki alat penghalus. Alam yang terbentang luas pasti akan mengantarkan Anda pada pengetahuan tentang karakter Pencipta yang Mahasempurna. - c. Orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberi sesuatu.
Bagaimana mungkin alam tercipta dengan fenomena keindahan, keunikan, dan kecermatan yang demikian sempurna, kalau bukan diciptakan oleh Dzat Yang Mahasempurna pula? Itulah Allah SWT.
Pendekatan logika ini hanyalah alat
bantu untuk mendekatkan dan mengukuhkan keimanan kita kepada Allah SWT.
Selebihnya, ayat-ayat Al-Qur’an tentu sangat banyak menceritakan hakikat
ini. Dengan itulah, keyakinan akan semakin tumbuh kukuh dalam benak
setiap kita.
3. Penerimaan (Al-Qabuul)
Setiap orang yang mengikrarkan syahadat
harus menerima konsekuensi kalimat tersebut dengan hati, lisan dan
tindakannya. Seorang yang berikrar syahadat dengan lisannya akan tetapi
hatinya menolak kebenaran disebut sbg munafiq I’tiqady. “Wahai orang-orang yang beirman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dia menyeru kepada agama yang menghidupkanmu…” (QS. An-Anfal : 24)
Ikrar syahadat baru diterima di sisi
Allah apabila disertai penerimaan yang total atas konsekuensi yang
menyertainya. Penolakan akan makna dan kandungan syahadat akan berdampak
merusak persaksian yang telah diikrarkan. Allah SWT mengecam kaum yang
menolak kalimat tauhid. “Sesungguhnya mereka dahulu apabila
dikatakan kepada mereka “Laa ilaaha illallah” mereka menyombongkan diri.
Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan tuhan-tuhan
sesembahan kami hanya untuk mengikuti seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shafat : 35-36)
4. Ketundukan (Al-Inqiyad)
Ikrar syahadat harus diikuti dengan
sikap tunduk terhadap kandungan maknanya dan tidak mengabaikan maksud
kalimat syahadat tersebut. Sikap membangkang dan tidak mau tunduk thd
ketentuan Allah dan rasul-Nya menjadikan ikrar tersebut tidak bermakna.
Sesungguhnya makna Islam itu sendiri ketundukan, di mana seseorang yang
masuk Islam diharapkan memiliki sikap tunduk dan patuh terhadap segala
aturan yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman, “Siapakah yang
lebih baik agamanya dibanding orang yang menyerahkan wajahnya kepada
Allah dan dia adalah orang yang mengerjakan kebajikan…” (QS. An-Nisa’ : 125) Nabi SAW bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya tunduk kepada ajaran yang aku bawa” (HR. Imam Nawawi) Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan konsekuensi keimanan, yang berupa ketundukan sikap tanpa keberatan. “Maka
demi Tuhanmu, pada hakikatnya mereka itu tidak beriman sebelum
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan. Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu keberatanpun di
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, lalu mereka
menerima sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ : 65)
Ibnu Katsir memberikan penjelasan mengenai ayat ini, “Allah
bersumpah dengan diri-Nya Yang Mulia lagi Suci, bahwa Rasul SAW sebagai
hakim dalam segala persoalan. Apa saja yang diputuskan oleh Nabi SAW
adalah kebenaran yang wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Oleh karena
itu, Allah mengatakan,… Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu
keberatanpun di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
lalu mereka menerima sepenuhnya.” “Artinya, jika mereka bertahkim
kepadamu, mereka menaati dalam jiwa mereka lalu tidak mendapati rasa
keberatan sedikitpun dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau
berikan. Mereka mematuhi hukum itu secara lahir dan batin, sehingga
mereka tunduk dan pasrah sepenuhnya tanpa perlawanan, proteksi, apologi,
maupun penentangan,” demikian penjelasan Ibnu Katsir.
5. Kejujuran (Ash-Shidq)
Setiap orang yang berikrar syahadat
harus melakukannya secara jujur, tidak berpura-pura, atau berdusta.
Seyogyanya ucapan lisan sejalan dengan pikiran, sekaligus dengan
hatinya. Itulah kejujuran sikap. Yakni mengucapkan persaksian secara
bersungguh-sungguh tanpa kepalsuan dan kepura-puraan. Sesungguhnya,
Allah Maha Mengetahui setiap hamba yang benar dan jujur dalam keimanan
maupun hamba yang melakukan kedustaan. “Dan diantara manusia ada
yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal
mereka itu sebenarnya bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka hendak
menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal pada hakikatnya mereka
hanya menipu diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah : 8-9) Rasulullah SAW bersabda,
“Tak seorangpun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dalam hatinya, kecuali Allah
mengharamkannya disentuh api neraka.” (HR. Bukhari) Ibnu Rajab mengatakan, “Adapun
orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan lidahnya, kemudian ia
menaati setan, cenderung bermaksiat, dan menentang Allah sebenarnya
perbuatannya itu telah mendustakan perkataannya. Kesempurnaan tauhidnya
terkurangi sesuai dengan kadar kemaksiatannya kepada Allah itu dalam
menuruti setan dan hawa nafsu.” Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya
kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan mengantarkan
kepada surga. Seseorang berbuat jujur hingga menjadi ahli berbuat jujur.
Dan sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada kedurhakaan dan
kedurhakaan mengantarkan ke neraka. Seseorang berbuat dusta hingga
ditetapkan sebagai pendusta.” (HR. Bukhari) Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur.” (QS. At-taubah : 119)
6. Ikhlas (Al-Ikhlash)
Amal yang ikhlas adalah manakala amal
yang dikerjakan hanya dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT, tidak
untuk mendapatkan ridha siapapun diantara makhluk-Nya. Lawan kata dari
ikhlas adalah riya, yaitu beramal dengan tujuan selain Allah. Amal yang
ikhlas dapat menenteramkan hati, sekaligus menjadikan amal ibadah kita
diterima Allah SWT. Selain itu, keikhlasan dapat menciptakan semangat
untuk berjuang dan menanggung semua resiko dari perjuangan yang
dilakukan. Demikian juga, ikrar syahadat harus dilakukan dengan penuh
keikhlasan dan hanya mengharap ridha Allah SWT, Allah SWT berfirman :
“Mereka itu tidaklah diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama secara lurus…” (QS. Al-Bayyinah : 5)
Selain itu, keikhlasan harus senantiasa didampingkan dengan kebenaran. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya
amal perbuatan jika sudah ikhlas namun tidak benar, tidak akan
diterima. Jika benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima, sebelum
menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas jika hanya karena Allah,
sedangkan benar jika mengikuti Sunah Rasulullah SAW.”
7. Cinta (Al-Hub)
7. Cinta (Al-Hub)
Setiap orang yang bersyahadat harus
mencintai kalimatnya, mencintai segala yang menjadi konsekuensinya,
sekaligus mencintai orang-orang yang konsekuen dengannya. Orang yang
telah mengikrarkan syahadat, ia harus mencintai Allah di atas
segala-sagalanya dan mencintai segala sesuatu dalam rangka mencintai
Allah SWT. “Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengambil
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah : 165) Syaikh Al-Hafizh Al-Hakami mengatakan, “Indikasi
kecintaan seorang hamba kepada Tuhan adalah mendahulukan cinta
kepada-Nya sekalipun hawa nafsunya menentang; membenci apa yang dibenci
oleh Tuhannya, sekalipun hawa nafsu cenderung kepada hal tersebut;
memberikan loyalitas kepada orang-orang yang berwala’ kepada Allah dan
rasul-Nya; memusuhi siapa pun yang memusuhi Tuhannya; mengikuti
Rasulullah SAW, meniti jalan kenabian, dan menerima petunjuk darinya.”
Dalam kaitan ini Ibnu Taimiyah berkata, “Mencintai
apa yang dicitai kekasih adalah bagian dari cinta kepada kekasih.
Kesiapan menanggung resiko yang berat adalah bagian dari cinta kepada
kekasih.” Jika ada orang yang bersyahadat tetapi membenci Allah dan
Rasul-Nya, maka bukanlah orang beriman. Lebih dari itu, syahadat itu
tidak akan sampai menggerakkan hati untuk tunduk dan pasrah serta siap
menanggung resiko perjuangan.
Syahadat yang benar bukan saja
mendapatkan penerimaan dari Allah SWT, namun juga menimbulkan perasaan
ridha pada kandungannya. Perasaan ridha menjadi titik awal dari segenap
sikap berislam secara total. Dengan ridha itulah kita menerima semua
beban syariat dengan tulus, dengan ridha itu kita siap memperjuangkan,
dan dengan ridha itu pula kita siap menanggung resikonya. Sedangkan
kandungan ridha ini adalah ridha bahwa Allah sebagai Tuhan, Islam
sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi. Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa ketika pagi dan sore mengatakan, “Saya ridha Allah sebagai
Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi,” maka
adalah wajib bagi Allah untuk meridhainya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Hakim). ). [sumber: Buku Seri Materi Tarbiyah; Syahadat dan Makrifatullah]
Manusia memiliki akal pikiran, sehingga
mampu mempertimbangkan semua yang dilakukan dan diamalkan. Manusia yang
berakal pikiran sehat tidak pernah berbuat sesuatu, kecuali telah
diketahui apa yang hendak dilakukannya itu. Oleh karena itu, seseorang
harus mengetahui sesuatu sebelum mengikuti atau melaksanakannya. Allah
SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra’ : 36)
0 komentar:
Posting Komentar