Adab Imam & Makmum dalam Shalat Berjama'ah
Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan
tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa‘ Ar Rasyidin radhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam wafat.
Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah
imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga
golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau
menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam
untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada
hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti
pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.
Akan tetapi –dalam hal ini– manusia berada di dua
ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari
tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya
menjadi imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan “masjid pada masa
sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari
kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang
dirahmati oleh Allâh–.
Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari
golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam
hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah
pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa
perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan,
kecuali dalam rangka mencari penghasilan.
Secara tidak langsung, –para imam seperti ini–
menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang
penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum
muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi
kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada
diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis,
menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai
emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba,
menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau
istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat,
bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa
yang telah kita sebutkan di atas”.
Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.
Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah:
Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam
memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat,
sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang
membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama‘a maalaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9Na‘uzubillah.
Ketiga. Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan
jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah
mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang
sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan
tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu :
Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang
dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun
pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam
shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan
kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada
keinginan makmum.
Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
”Adalah Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau
meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah
memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar
(untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak
seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang
imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,
”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita
tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau
rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang
dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
“Adalah salah seorang
kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah
seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka
bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari
berkata, dari Anas radhiyallâhu'anhu, ”Bahwa ketika beliau datang ke
Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka
semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam?’
Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali
mereka tidak merapatkan shaf’.”
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para jama’ah tidak
mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man
radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya,
jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga
orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya
mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
Hendaklah yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu:
Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan
orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda,
”Jika orang yang lewat
di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa,
pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik
daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
Imam Ahmad berkata:
”Imam (adalah) orang
yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di
belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau
sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan
imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan
sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan
hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung
jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan
seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta
memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena,
jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh
ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya.
Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak
menyempurnakan shalatnya.”
Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia
ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang
masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi
tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum
lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami
sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan
adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.
0 komentar:
Posting Komentar